Mundurnya GoPro dari bisnis drone adalah bukti
kebesaran DJI dalam industri tersebut. Saya yakin di luar sana ada banyak
startup drone yang menyerah sebelum berperang setelah melihat kondisinya dalam
setahun belakangan, tapi tidak untuk startup bernama Skydio berikut ini.
Didirikan pada
tahun 2014 oleh tiga jenius jebolan MIT, dari awal Skydio sudah punya visi yang
cukup ambisius. Mereka ingin menciptakan drone yang benar-benar bisa bermanuver
selagi merekam video dengan sendirinya. Setelah berkutat dengan computer
vision, artificial intelligence dan berbagai teknologi lainnya selama kurang
lebih empat tahun, Skydio akhirnya punya satu produk yang siap dipasarkan.
Produk tersebut
adalah sebuah quadcopter bernama Skydio R1. Drone kecil ini benar-benar
mengedepankan aspek pengoperasian otonom, sampai-sampai Skydio sengaja tidak
merancang unit controller untuknya. Cukup dengan beberapa sentuhan pada
aplikasi smartphone-nya, R1 siap mengudara dengan sendirinya sampai secepat 40
km/jam, tanpa ada input secara konstan dari pengguna.
Aplikasi ponsel
itu dibutuhkan untuk menentukan mode penerbangan dan perekaman yang diinginkan
pengguna, serta untuk memilih subjek yang hendak direkam dan memantau hasil
rekamannya secara live. Setelahnya, R1 dapat bermanuver dengan sendirinya,
menghindari berbagai rintangan yang ada selagi mengunci fokus kameranya pada
subjek yang telah dipilih.
Rahasianya
terletak pada total 13 kamera yang ditanam di seluruh sisi R1. Informasi yang
dikumpulkan kemudian diolah oleh chip Nvidia Jetson TX1, yang memang
dikembangkan secara khusus untuk memaksimalkan kinerja computer vision dan
machine learning.
Nvidia Jetson
TX1 merupakan sebuah komputer mini yang dirancang untuk menghadirkan kecerdasan
buatan pada drone. Lewat Jetson TX1, Nvidia sebenarnya punya visi dimana drone
nantinya tidak hanya terbang mengikuti instruksi manusia, tetapi juga
mengendalikan dirinya sendiri melewati berbagai rintangan maupun
mengidentifikasi adanya kegiatan yang mencurigakan. Semua ini bisa dicapai
dengan teknologi seperti machine learning dan computer vision, tapi sebelumnya,
dibutuhkan ‘otak’ yang sanggup mengolah semua itu dengan cepat.
Itulah peran
yang diusung Jetson TX1. Secara total, ia sanggup mengerahkan performa dengan
daya sebesar 1 teraflop – setara dengan supercomputer tercepat dari 15 tahun
yang lalu – tapi di saat yang sama hanya mengonsumsi energi dalam jumlah yang
amat sedikit. Semua ini dikemas dalam fisik berukuran 50 x 87 mm, bahkan lebih
kecil daripada kartu kredit.
Selain itu sebagai
pelengkap, Skydio membubuhkan algoritma untuk mengenali beragam objek seperti
manusia, pohon atau mobil, termasuk memperhatikan detail kecil seperti warna
baju.
Selama
mengudara, R1 akan terus memetakan lingkungan di sekitarnya dalam wujud 3D
secara real-time. Segudang informasi yang diolah juga dimanfaatkan untuk
memprediksi tindakan drone selama empat detik ke depan, dan semua ini
berlangsung secara konstan selama sekitar 16 menit, sebelum akhirnya baterai R1
perlu di-charge kembali.
R1 dilengkapi
kamera yang dapat merekam dalam resolusi 4K 30 fps, dengan sudut pandang seluas
150 derajat. Kamera tersebut duduk di atas gimbal 2-axis, dan semua hasil
rekamannya akan disimpan di dalam storage internal sebesar 64 GB. Sasisnya
sendiri terbuat dari perpaduan aluminium dan serat karbon, dengan bobot tak
lebih dari 1 kilogram.
Sejauh ini apa
yang ditawarkan Skydio terdengar menarik, akan tetapi yang mungkin bakal
menjadi masalah adalah perihal harga jualnya. Meski masih dalam jumlah
terbatas, Skydio R1 saat ini sudah dipasarkan seharga $2.499. Sebagai
perbandingan, DJI Phantom 4 Pro dan Inspire 2 masing-masing memiliki banderol
$1.499 dan $2.999.
Kedua drone DJI
tersebut mengemas kamera yang lebih superior, serta juga dilengkapi kemampuan
mendeteksi rintangan dan kendali otomatis, meski tidak sekompleks yang Skydio
tawarkan, dan masih harus dikendalikan dengan controller yang cukup rumit.
Tidak cuma itu, keduanya juga lebih gesit dan bisa mengudara jauh lebih lama.
Selisih $500
dari Inspire 2 adalah harga yang kelewat mahal untuk Skydio R1, akan tetapi ini
dikarenakan teknologinya masih baru, bukan semata Skydio ingin mencari untung
besar. Mereka berharap ke depannya bisa menghadirkan teknologi otonom sekelas
R1 pada produk yang lebih terjangkau, kurang lebih sama seperti “Master Plan”
yang berhasil dieksekusi Tesla.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar sesuai dengan materi artikel dalam blog ini.
Terima kasih.